Semangat dan kejujuranmu, Bidin!

Bidin nama anak itu. Pekerjaannya menyemir sepatu dan jualan koran di terminal kecil di sebuah kota terpencil. Awalnya aku tidak memperhatikanya lalu-lalang didepanku. Aku hanya duduk diam menatap arlojiku. Menunggu kedatangan bis yang mengantarku ke kota tempat aku mencari nafkah.

Sepertinya dia yang memperhatikanku terlebih dahulu.

“Mba’, majalahnya Mba’! Ada Femina, Gadis, sambil nunggu Mba’!”

Pastinya dia tidak akan menawarkan menyemirkan sepatu padaku. Ya, karena “sepatu kebesaranku” hanya sepatu kets putih kumal.

“Nggak Dik, makasih!” Aku menggelengkan kepalaku.

Mba’e mau kemana tho Mba’?” Logatnya yang khas menyapaku.

“Purwokerto, belum lewat kan ya bisnya?” aku balik bertanya.

“Oh, kalo yang bagus bisnya sudah lewat. Kalo yang ekonomi setengah jam lagi.”

Waduh, ternyata aku salah perhitungan. Maklumlah, ini pertama kalinya aku pulang ke kota kecilku.

Mba’e kerja ya?”

“Iya, baru sebulan. Kamu sekolah?”

“Sekolah Mba. Tapi cuman di ponpes”

“Ooooh..” Aku mengangguk, walau agak bingung dengan jawabannya.

“Kelas berapa sih?”

“Kalo di SD sih kelas 5, tapi saya lagi prei sekolah SD, wong bapak saya sakit, gak kerja. Makanya saya ndobeli jualan koran sama nyemir. “

Pembicaraan kami terputus karena ada orang membeli korannya. Lalu dia berlari menawarkan jasa menyemir sepatu kepada seorang bapak-bapak yang baru masuk terminal.

Aku memperhatikannya terus. Tiba-tiba ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukan sesuatu.

Aku teringat teman-temanku yang mengatakan suatu lelucon atau tahayul, kalau gaji pertama wajib dihabiskan. Aku tertawa nyengir. Entah benar atau tidak. Tapi, entah kenapa, niatku untukmenghabiskan gaji pertamaku untuk membeli pakaian kerja sirna seketika.

Aku memanggil si Bidin.

“Dik, kalo kamu punya uang agak banyak mau mbok apakan?”

“Wah, kapan saya punya Mba. Tapi kalo iya ada uang agak banyakan, saya mau beli kambing. Ntar saya pelihara biar sampe manak, terus kujual pas lebaran haji. Kan bisa buat tambah-tambah” Matanya terlihat berbinar-binar.

“Nih ada uang buat kamu. Buat beli kambing. Cuma cukup 1 ekor sih!” Aku mengulurkan amplop gajiku.

Si Bidin terbelalak.

“Beneran nih Mba?”

“Iya, beneran.”

“Alhamdullilah Mba’. Emang Mba’ siapa sih?”

“Saya manusialah” jawabku sambil tersenyum. Dalam hati aku berdoa, semoga ini menjadi kehendakNya.

***

Sepuluh tahun sudah aku tidak pernah kembali ke kota kecil ini. Ada banyak kenangan mendalam yang merebak pada udaranya. Kenangan tentang semangat dan kejujuran seorang anak yang selalu gigih berkerja keras, tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam hidupnya.

Ya, aku datang kota kecilku. Untuk menyaksikan Si Bidin di wisuda. Walau cuma diploma 3 komputer, tapi dia bisa menyelesaikannya dengan usahanya sendiri. Dagang kambing di pasar hewan.

Interpretasi si pemilik blog:

Artikel ini telah saya ambil dari sumber:http://sosbud.kompasiana.com. Apa yang membuat saya terkesan dengan cerita ini adalah pesan moral yang mengajarkan kita untuk bersikap jujur dan tetap semangat dalam menggapai tujuan/cita-cita. Menyimak cerita ini, saya teringat petuah dari orang bijak bahwa “Masa depanmu itu tergantung dari mimpimu dan usahamu u/ menggapai mimpi itu”.

Tinggalkan komentar